KEHIDUPAN global adalah sebuah paradoks. Di satu sisi ia menggiring banyak fenomena ke dalam ruang penyeragaman dan memengaruhi kehidupan hanya pada satu rujukan, yakni modernitas. Sementara di lain sisi, desakan-desakan global semacam itu menimbulkan kesadaran yang reaktif, yakni bangkitnya kesadaran untuk segera menyelamatkan kehidupan dengan segala keberbagaiannya, termasuk kehidupan berbahasa. Bahasa Inggris yang lekat dengan citraan budaya global, dan bahasa nasional yang lahir atas nama kesadaran nasionalisme di suatu negara, perlahan namun pasti dipandang telah mengikis keberadaan bahasa-bahasa daerah, yang kemudian disebut juga sebagai bahasa ibu.
Banyak bukti dari berbagai hasil penelitian memperlihatkan betapa terdapat sejumlah bahasa telah punah di muka bumi. Bahkan diprediksi, satu abad mendatang, dari 6.000 bahasa yang terdapat di dunia, 50 persennya akan punah. Di Indonesia, tempat di mana terdapat 731 bahasa, proses kepunahan pun terus berlangsung sampai hari ini, di antaranya adalah sejumlah bahasa daerah.
Atas kecemasan inilah sejak tahun 1991 UNESCO mencanangkan semacam tradisi dalam kehendak membangun kesadaran pada bahasa ibu. Tradisi yang kemudian berlanjut sampai tahun ini dengan apa yang disebut Hari Bahasa Ibu Internasional. Dr. Cece Sobarna, M.Hum. mengutip Uriel Weinreich (1968) menyatakan, persaingan bahasa yang mengakibatkan matinya bahasa terjadi akibat adanya kontak bahasa dalam masyarakat yang multibahasa. Persaingan terjadi antara bahasa ibu (daerah), bahasa nasional, dan bahasa asing. Kecemasan akan punahnya bahasa ibu adalah kecemasan yang logis yang bersebab pada kenyataan kian surutnya penutur bahasa ibu di tengah desakan bahasa nasional dan bahasa asing.
Meskipun dalam pandangan Cece hasil penelitian menunjukkan bahwa 85% penduduk Indonesia di berbagai daerah masih menggunakan bahasa ibu, namun gejala penurunan adalah juga kenyataan yang terus terjadi, terutama di kalangan anak-anak muda. Mereka cenderung menggunakan bahasa Indonesia dialek betawi ketimbang bahasa daerah. Kekurangmampuan generasi muda dalam menggunakan bahasa ibu, tak lepas dari desakan bahasa Indonesia yang semula hanya dipakai dalam situasi resmi. Menyusutnya fungsi bahasa ibu ini menjadikan daya tahan dan daya saingnya tidak seimbang di hadapan bahasa nasional atau asing. Kenyataan ini diperparah dengan adanya anggapan yang keliru bahwa bahasa ibu merupakan simbol keterbelakangan.
Menurut data UNESCO, saat ini terdapat sekitar 6.000 bahasa yang digunakan di seluruh dunia, tetapi bahasa-bahasa tersebut terbagi diantara penduduk dunia secara tidak merata. Lebih dari 90% penduduk dunia yang berjumlah 6 milliar hanya menggunakan sekitar 300 bahasa saja, diantaranya bahasa Hindi, Arab, Mandarin, Prancis, Spanyol, dan Inggris. Bahasa-bahasa tersebut sering disebut sebagai bahasa mayoritas. Kurang dari 10% dari total penduduk dunia berbicara dengan menggunakan sisanya yaitu 5.700 bahasa sebagai bahasa minoritas. Dari semua bahasa minoritas ini, 3.481 (61%) ditemukan di kawasan Asia dan Pasifik. Dari 6 ribu bahasa yang sudah diketahui saat ini, 61 persennya merupakan bahasa yang digunakan di kawasan Asia Pasifik, dan 726 lebih di antaranya di pakai di wilayah Indonesia.
Dalam tataran sosiolinguistik makro, pengkajian pemertahanan bahasa (language maintenance) lazimnya tertuju pada bahasa dalam konteks bilingual, dalam hal ini terdapat bahasa ibu (minor language) atau bahasa etnis bersehadapan dengan bahasa utama (major language), seperti bahasa nasional. Hal ini relevan dengan konteks Indonesia, yang di dalamnya terdapat sekitar 726 bahasa etnis, dengan jumlah penutur yang sangat beragam dari puluhan ribu sampai puluhan juta.
Adanya kekhawatiran tentang kemungkinan punahnya suatu bahasa adalah suatu hal yang wajar, hal ini mengingat adanya beberapa kasus bahasa-bahasa tertentu yang bernasib malang, atau ditinggalkan para penggunanya. Contohnya saja beberapa bahasa di wilayah Irian Jaya seperti bahasa Bapu, Darbe, Wares (Kabupaten Sarmi), bahasa Taworta dan Waritai (Jayapura), bahasa Murkim dan Walak (Jayawijaya), bahasa Meoswas (Manokwari), dan bahasa Loegenyem (Rajaampat) diduga sudah punah, atau hanya digunakan oleh beberapa penutur saja..
Hal yang sama, sangat mungkin terjadi terhadap bahasa lainnya, seperti bahasa Jawa misalnya, jika tidak ada kepedulian dari masyarakat penggunanya. Padahal, dengan punahnya suatu bahasa berarti hilang pula salah satu alat pengembang serta pendukung utama kebudayaan tersebut. Lebih dari itu, berarti hilang pula salah satu warisan budaya dunia yang tak ternilai harganya.
Bahasa Jawa adalah bahasa pertuturan yang digunakan penduduk suku bangsa Jawa terutama di beberapa bagian Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah & Jawa Timur di Indonesia. Bahasa Jawa terbagi menjadi dua yaitu Ngoko dan Kromo. Ngoko sendiri dalam perkembangannya secara tidak langsung terbagi-bagi lagi menjadi ngoko kasar dan ngoko halus ( campuran ngoko dan kromo ). Selanjutnya Krama itu terbagi lagi menjadi Krama, Krama Madya, Krama Inggil ( Krama Halus ). Krama Madya inipun agak berbeda antara Krama yang dipergunakan dikota / Sala dengan Krama yang dipergunakan di pinggiran / desa. Sedangkan Krama Haluspun berbeda antara Krama Halus/Inggil yang dipergunakan oleh kalangan Kraton dengan kalangan rakyat biasa.
Bahasa Jawa digunakan sekitar dua per tiga penduduk pulau Jawa. Bahasa jawa ini memiliki aksara-nya sendiri, yang dikembangkan dari huruf Pallava, dan juga huruf Pegon yang diubahsuai dari huruf Arab.Penduduk Jawa yang berhijrah ke Malaysia turut membawa bahasa dan kebudayaan Jawa ke Malaysia, sehinggakan terdapat kawasan penempatan mereka dikenali sebagai kampung Jawa, padang Jawa.
Dapat dikatakan bahwa setiap bahasa menggambarkan pandangan dan budaya dunia yang unik serta mencerminkan cara dimana masyarakat tutur memecahkan masalahnya dalam menghadapi dunia, merumuskan cara berfikirnya, sistem filsafatnya, dan memahami dunia di sekitarnya. Dengan punahnya suatu bahasa berarti suatu kesatuan yang tidak dapat digantikan dalam ilmu pengetahuan, dan dari pemahaman pemikiran manusia, maka pandangan dunia terhadap bahasa tersebut telah menghilang selamanya
Melihat fenomena kepunahan bahasa seperti kasus-kasus di atas, agar bahasa Jawa tidak mengalami nasib yang sama maka diperlukan suatu langkah konkret untuk menyelamatkan bahasa Jawa dari kepunahan. Salah satu langkah yang bisa diambil untuk menyelamatkan bahasa Jawa dari kepunahan adalah dengan mengembangkan sebuah metode belajar dalam Program Keaksaraan Fungsional melalui pendekatan bahasa ibu (bahasa Jawa). Program ini secara khusus ditujukan bagi pengembangan pendidikan masyarakat buta aksara dengan memanfaatkan kekayaan bahasa ibunya, yaitu bahasa Jawa, sebagai sumber belajar yang fungsional dalam pembelajaran membaca, menulis, dan berhitung (calistung).
Proses pembelajaran di daerah yang memiliki karakteristik budaya yang khusus seperti masyarakat Samin, lebih efektif jika dilakukan melalui pendekatan menggunakan bahasa ibu atau bahasa daerah setempat. Pendekatan tersebut akan memudahkan warga belajar untuk menerima materi dari tutor keaksaraan. Komunikasi menggunakan bahasa daerah, lebih mengena dibandingkan menggunakan bahasa Indonesia. Walau begitu, pembelajaran keaksaraan tetap harus menggunakan bahasa standar yaitu Bahasa Indonesia.Dengan pendekatan bahasa ibu, warga belajar secara bertahap akan menggunakan bahasa Indonesia yang menjadi bahasa pemersatu.
Materi pembelajarannya memadukan antara kekayaan bahasa ibu dengan kecakapan hidup (life skills), diantaranya adalah: menyanyi lagu Jawa, menulis pengalaman warga belajar dengan menggunakan bahasa Jawa, menulis surat berbahasa Jawa, dan menulis tentang budaya lokal masyarakat samin dengan menggunakan bahasa Jawa. Seperti diketahui, masyarakat Samin (wong sikep) adalah sekelompok masyarakat di mana para pendahulu mereka menggunakan bahasa Jawa sebagai alat untuk menentang penjajah Belanda, sehingga bahasa Jawa adalah bahasa yang sudah sangat akrab dengan keseharian masyarakat Samin. Hal ini mengakibatkan para warga belajar tidak akan mengalami kesulitan dalam memahami setiap materi yang diajarkan oleh tutor.
Dalam proses belajar mengajar tutor menggunakan strategi belajar, membaca, menulis, berhitung, diskusi, dan aksi (calistungdasi). Penggunaannya fleksibel sesuai situasi dan kondisi materi yang disampaikan tutor.. Artinya, semua bahan belajar tersebut sedapat mungkin diambil dari pengembangan tradisi lokal. Kemudian dengan dibantu oleh tutor, warga belajar menerjemahkan apa yang dipelajari dengan menggunakan bahasa Jawa tersebut ke dalam bahasa Indonesia.
Selain itu, warga belajar pun didorong untuk membuat bahan belajar sendiri berdasarkan pengalamannya. Kekayaan bahasa dan budaya Jawa ini kemudian dijadikan salah satu sumber belajar bagi warga belajar, tutor, dan penyelenggara yang bermanfaat bagi pengembangan keterampilan yang memadai untuk menggunakan beraneka ragam informasi tertulis dalam kehidupan sehari-hari. Kemampuan yang dimaksudkan dalam konsep ini adalah kemampuan memproses informasi bahan-bahan menjadi suatu hal yang aplikatif dalam kehidupan tradisional mereka.
Pengembangan model pembelajaran keaksaraan melalui bahasa ibu memiliki dampak sertaan terhadap pemertahanan bahasa Jawa. Bahan ajar yang digali dari kekayaan bahasa dan budaya Jawa dalam konteks setempat, memungkinkan terangkatnya nilai-nilai budaya Jawa yang sudah dilupakan atau bahkan tidak dikenal oleh para penuturnya. Penggunaan budaya dalam proses pembelajaran keaksaraan menjadikan program ini tidak hanya berfungsi sebagai alat pemberantasan buta aksara dan angka, tapi berkontribusi pula pada pemertahanan bahasa dan budaya Jawa pada umumnya.