Malam itu, Zaenal dan Suliani sudah mulai bersiap-siap. Pasangan suami istri yang tinggal di kampong Condrorejo, Semarang ini memang hendak pergi ke salah satu rumah kiai yang ada didaerahnya.
“Ayo bu, nanti keburu pak kiai keluar,” ujar Zaenal.
“Iya, sebentar pak,” jawab Suliani yang sudah terlihat rapi dengan baju setelan muslimnya.
Sejenak, keduanya pun mulai berangkat dengan mengendarai sepeda motor. Niatan Zaenal untuk berkunjung ke rumah kiai itu bukanlah karena ada acara khusus atau pengajian. Namun, hal ini sudah menjadi kebiasaan hidup Zaenal yang gemar silaturahim dan sowan ke kiai-kiai. Tak ayal, karena inilah ia cukup dikenal oleh para warga yang ada di kampungnya.
Saat itu juga, meski jarak yang ditempuh lumayan jauh, Zaenal dan istrinya akhirnya tiba di rumah si kiai.
“Assalamu’ailaikum,..” sapanya mengucapkan salam.
“Wa’alaikumsalam, monggo mlebet (silahkan masuk,red),” jawab seseorang dari balik pintu.
Tanpa ada rasa canggung, Zaenal pun segera meraih tubuh laki-laki yang sudah tua dan memeluknya.
“Alhamdulillah, akhirnya saya bisa ketemu njenengan juga,” pekik Zaenal gembira.
“Iya, ayo silahkan duduk,” tandas Abdul Madjid si kiai kepada Zaenal.
Bagi Zaenal, silaturahim adalah salah satu hobbinya. Tak hanya dapat memperpanjang umur, tapi juga dapat menambah rizqi. Inilah pesan yang disampaikan kiainya semasa ia mondok. Maka, tak heran jika hingga kini pesan tersebut masih terlalu terngiang di telinganya dan menjadi salah satu aktivitas wajibnya.
DIUJI SAKIT
Tujuan Zaenal dan istrinya ke rumah kiai Abdul Madjid kala itu bukanlah hanya sekedar silaturahim. Sebagai seorang yang butuh nasihat agama, Zaenal juga meminta do’a dan wejangan Abdul Madjid.
Bersamaan di hari itu juga, usai silaturahim, Zaenal pun sekalian berkunjung ke rumah saudara-saudaranya yang lain hingga larut malam. Sekitar lima kerabatnya yang hari itu juga ia kunjungi untuk menyambung silaturahim. Taka da yang aneh, kondisi Zaenal kala itu juga terlihat sehat-sehat saja.
Namun, keesokan harinya tanpa disadari ternyata Zaenal tiba-tiba mengeluhkan sakit pada perutnya.
“Ya Allah, perutku kenapa ini kok tiba-tiba sakit,” pekiknya seraya memegangi perutnya.
Untungnya, hal itu diketahui oleh istrinya.
“Ada apa pak?” Tanya Suliani.
“Nggak tau bu, perutku tiba-tiba sakit,” jawabnya singkat.
“Apa gara-gara aku belum makan ya,” imbuhnya lagi.
“Ahh… biasa bapak itu, makan saja sampai telat,” tegur Suliani.
Tak ingin terjadi apa-apa, Suliani pun segera mengambilkan sepiring nasi dan menyuapi suaminya.
“Gimana bu, nanti jadi ke rumah H. Warso ya?” kata Zaenal.
“Bapak ini gimana toh, katanya sakit kok masih ingin berkunjung,” tandas istrinya.
“Saki tapa sih bu, sekarang sudah nggak kok,” candanya.
“Ya sudah, terserah,” tandas Suliani mengamini.
Untuk kesekian kalinya, Zaenal pun kembali mengunjungi rumah salah satu tokoh agama di daerahnya, lantaran pada hari sebelumnya ia tidak sempat karena sang tokoh agama itu keluar kota.
Sepulang silaturahim dan melaksanakan shalat isya’ Zaenal langsung merebahkan tubuhnya diatas tempat tidur.
“Alhamdulillah, aku istirahat dulu ya bu, nanti jam Sembilan tolong bangunkan aku,” pinta Zaenal.
TERSENYUM
Sementara itu, Suliani lebih memilih untuk nonton televise di ruang tamu bersama kedua anaknya.
“Tumben, jam segini sudah tidur. Biasanya nggak punya capek,” gumamnya Suliani mengamati sikap suaminya.
Malam pun semakin larut, dan jarum jam sudah menunjukkan angka Sembilan. Seperti pesan istrinya tadi, Suliani pun membangunkan Zaenal.
“Pak, bangun, sudah jam Sembilan,” pekik Suliani sambil menggoyang-goyang tubuh suaminya.
Namun anehnya, Zaenal sama sekali tak merespon.
“Pak, bangun,” kata Suliani lagi.
Lagi-lagi Zaenal tak bergerak sedikitpun. Saat itu juga Suliani pun mulai curiga dangan kondisi suaminya.
“Pak, ayo bangun,” pekik Suliani semakin kuat.
Takut terjadi suatu yang tak diinginkan, Suliani pun langsung meminta tolong tetangganya. Tanpa ia duga ternyata tetangganya mengucap sebuah kalimat yang sangat ditakuti, “Innalillahi wa inna ilaihi raaji’un.”
Tanpa perlu diartikan lagi, Suliani pun benar-benar shock dan tak percaya jika suami tercinta telah meninggal dunia. Istimewanya lagi, Zaenal meninggal dengan begitu indah. Yakni dengan tersenyum dan kedua tangan sudah bersedekap.
Kepergian Zaenal benar-benar memukul hati istri dan anak-anaknya. Tak sedikit pula tetangga dan kerabatnya yang merasa kehilangan. Yang membahagiakan lagi, para kiai-kiai juga ikut berbelasungkawa dan menshalati jenazahnya.
Kepergian Zaenal yang memancarkan senyuman dibibirnya dan banyaknya petakziah yang mengantarkan jenazahnya membuat para warga berkesimpulan bahwa hal itu dikarenakan kebiasaan Zaenal yang suka silaturahim.